RSS

Slamet= Petualanganku

Dalam rangka memeriahkan Pemilu 2009, Aku, Fajri, dan ketiga teman satu kantornya pergi ke gunung Slamet. Tapi jangan dikira kita golput ya, sebagai warga negara yang baik dan patuh terhadap hukum,hehehe, kita wajib untuk memberikan suara pada pemilu ini. Apa sih arti suara kita? Satu suara tidak bisa merubah apapun.Toh setelah terpilih mereka yang di senayan akan lupa janji-janji mereka dalam pemilu kemaren. Mereka akan sibuk buat mengisi kantong mereka sendiri, bukan untuk mengisi kantong para konstituennya. Mereka hanya menganggap kita ada saat pemilu, setelah itu kita adalah sampah yang harus dibuang jauh-jauh.

Memang, itu ada benarnya, tapi menjadi golput bukanlah sebuah solusi. Dengan tidak memilih berari kita menyerahkan bangsa ini kepada para orang-orang bejat disana, dan pada akhirnya negara ini akan tambah rusak lagi. Kalau mau negara ini tambah rusak, silahkan golput saja! Kalau mau negara ini menjadi lebih baik, rubahlah. Rubahlah negara ini mulai dari diri kita sendiri, dengan memberikan satu suara kita berarti membantu merubah negara ini. Pilihlah yang terbaik dari yang ada dan berharap mereka mampu menjadi lebih baik. Dan ketika pilihan kita itu salah, PILIH YANG LAIN DI PEMILU BERIKUTNYA!! Kok jadi ngomongin pemilu gini ya? Mana nih cerita perjalan ke Slametnya? Maaf pak moderator, intronya kepanjangan n menyimpang dari topik!!! Wkwkwkwkwk. Iya….iya, nih ceritanya

Tidak seperti biasa-biasanya, kali ini aku berangkat sendiri dari my hometown, Tulungagung (I was born in Trenggalek, but Tulungagung is my HOME). Jam 7 malam aku berangkat, di antar calon istri ke terminal. Ndak ada acara tangis-tangisan n peluk sayang, langsung cabut. Sampai ketemu 3 hari lagi!!!

Route yang aku lewati lumayan jauh, Tulungagung, Braan, Jogya, Purwokerto. Kalo ditotal sekitar 12-13 jam naik bus. Hufff, perjalanan yang melelahkan. Untungnya aku berangkat malam jadi ndak begitu kerasa lama, kan bisa sambil tidur. Sampai Jogya sudah hampir tengah malam, waktu itu cuman ada 5-7 orang yang turun, sama dengan waktu berangkat kesini. Bagi yang biasa maen-maen kesini siang hari pasti kaget waktu ngeliat terminal ini pas malam, sepi….sepi…..sepi banget, bus yang ke purwokerto pun cuman ada satu. Pindah bus trus tidur lagi.

Mulai jalan ke Purwokerto, aku udah ngga bisa tidur lagi. Waktu itu udah jam 3.40, cuaca bagus sekali. Bagi yang suka sama suasana mistis/horor cocok banget, mirip di bus hantu. Bayangin aja, di dalam bus cuman ada aku, sopir+crew, n beberapa penumpang. Jalanan sepi banget, kita ndak simpangan apapun dari tadi, kabut dimana-mana, kanan kiri pohon-pohon besar, n bus ini pelan banget, perfect scene!!! Dari yang semula menyeramkan jadi sangat-sangat retro ketika matahari sudah terlihat. Bagi yang pernah liat pilem Indonesia di tahun 60’an, kita dapat melihatnya sekarang tanpa harus naik mesin waktu. Jalanan ini ternyata membelah hamparan padi yang luas, sesekali kami melewati perkampungan, aku melihat rumah-rumah kecil dengan penduduknya yang ramah, kudengar mereka asyik bercakap-cakap tentang hasil sawahnya, hama tikus yang menggangu panen mereka, ayam pak Kirman yang hilang, atau sekedar menikmati cuaca pagi yang dingin, sinar mentari makin membuat tempat ini menjadi kekuning-kuningan. Waktu serasa melambat di tempat ini, it’s classic!!!. Beranjak siang, wajah garang Indonesia mulai terlihat. Bus yang penuh sesak penumpang, orang-orang dingin lalu lalang dengan kesibukan masing-masing, calo terminal teriak-teriak seperti liat Inul goyang ngebor, sikap ramah yang bermaksud lain, senyum simpul yang menipu, Ironis!!!

Aku ketemu Fajri n pren di masjid yang aku lupa namane, mereka dah menungguku cukup lama. Maaf ya. Mas Win, Budi, Rendra, aku kenalan dengan mereka. Tak perlu lama-lama kenalannya, kita pun lansung berangkat ke pertigaan Serayu. Kita jalan kaki kesana, lumayan buat pemanasan. Jaraknya entah berapa kilo, kita jalan kaki sekitar ½ jam lebih. Lumayan berkeringat juga, dah lama ga’ jalan-jalan sih. Sampai disana, wajah garang Indonesia mulai terlihat lagi. Begini ceritanya, disini ada dua angkutan yang melayani rute pertigaan serayu – pos pendakian, coax dan angkot. Coax? Nama yang aneh untuk sebuah alat transportasi. Beroda empat, punya bak terbuka di bagian belakang, itulah coax. Mobil pick up, itulah terjemahan dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka lagi memperebutkan “kita”, si angkot ngotot kita jadi penumpang mereka, si coax juga ndak mau kalah. Si angkot mengklaim melihat kita lebih dulu dan itu berarti kita jadi penumpangnya, si coax nggak diem aja, mereka melobi kita buat naik coaxnya. Kita cuman bisa diem aja melihat mereka ngrebutin kita. Sambil nunggu sapa yang menang, aku sarapan dulu nasi sayur tambah telur. Makan disini ambil sendiri, artinya aku boleh ambil sekuat aku mampu, hahaha. Selesai sarapan akhirnya pemenangnya adalah si angkot. Berangkatlah kita ke pos pendakian.

Standarnya sih angkot ini isinya cuman 8 orang + 1 sopir. Tapi, orang Indonesia emang kreatif banget, dari 8 bisa jadi 17 orang. Hebat euy. Tapi tak apalah, biarpun keselamatan nggak terjamin yang penting bisa nyampek pos. kita seperti ikan sarden dalam kaleng berkarat, setiap mobil ini melewati tanjakan hati serasa berdebar. Gimana kalau waktu naik mobilnya ngga kuat trus seluncur turun? Ndak kalah deg-degan pas turunan, kalau tiba-tiba remnya blong gimana? Ngeri juga mbayanginnya, tapi untungnya itu ngga’ sampai kejadian. Satu persatu penumpang angkot ini turun juga hingga menyisakan kami berlima. Lega rasanya sekarang, kursinya bisa buat tidur-tiduran. Tak lama berselang, kita sampai di pos pendakian dengan selamat.

Kata ibu xxx (penjaga pos sekaligus yang ngurusin perijinan buat pendakian), hari-hari ini banyak yang mendaki ke Slamet. Ada lebih dari 3 tim yang berangkat pagi hari tadi, belum yang berangkat kemaren pas pemilu. Yang akan berangkat juga masih ada, 11 orang dan kami berlima. Kami berangkat habis jum’atan di dekat masjid sini. Berhubung hari ini banyak pendaki yang sowan ke Slamet akhirnya masjid ini penuh sampai ke jalan-jalan. Akupun kebagian tempat diluar masjid pakai matras yang aku bawa. Dan yang lebih keren lagi, hampir semua jemaat disini pake sandal keren-keren. Ada eiger, north face, boogie, northwand, cartenz, dll. Bukan cuma pendaki aja yang make tapi juga penduduk lokal. Entah dapet dari mana mereka, mungkin ada pendaki yang kehabisan uang terus jualan sandal. Hehehehe

Jalan pertama yang kami lewati adalah perkebunan penduduk. Setengah jam pertama napas serasa udah mau habis aja. Maklum, sudah 6 bulan lebih ga da aktifitas kegunung, jadi masih belum bisa ngatur napas lagi. Capeknya kerasa banget karena sebentar-sebentar kita berhenti, pengalaman pertama pendakian bareng orang-orang yang pertama kali mengenal gunung. Hijaunya dedaunan dan keriputnya kulit ibu pertiwi sudah cukup untuk melepas penat ini. Perjalanan awal ini masih dalam skala normal menurut aku. Tidak terlalu curam, masih cukup nyaman. Istirahat besar pertama kami adalah di sebuah tempat yang sebut saja pos 2 (pos 2 yang sebenarnya juga belum ketemu atau mungkin udah terlewati), kira-kira jam 17.00. Sembari istirahat tak lupa secangkir energen hangat menemani kami menikmati sore ini. Capek hilang, tantangan datang. Jalan malam adalah sesuatu yang tidak terlalu aku suka. Pertama, jarak pandang jadi terbatas sehingga kemungkinan tersesat semakin besar. Kedua, gelap memberi kesan “tidak nyaman”. Ketiga, cuaca jadi tambah dingin. Beruntung kali ini aku bawa head lamp jadi ga’ capek pegang senter. Sayonara senter, selamat datang head lamp :P

Target kami jam 21.00 harus sudah sampai pos 4 dan istirahat. Tapi, manusia hanya bisa berusaha, Tuhan lah yang memutuskan. 23.00 kami sampai pos 4 dan pos ini sudah ada yang menempati, kami jalan ½ jam sebelum ketemu tempat buat camp. Akhirnya isirahat juga. Buka tenda, masak buat makan malam, terkaparlah kami. Budi, Rendra, Windu tidur di tenda, aku dan Fajri buka matras tidur diluar berselimutkan SB. Malam ini Tuhan baik hati, langit lagi bagus-bagusnya. Seharusnya aku dulu belajar astrologi biar bisa baca konstelasi bintang, yang aku tahu cuman si Milkway, atau kalau diIndonesiakan dengan baik dan benar Bima Sakti. Kenapa ya nggak diberi nama Kresna Sakti, atau Hanoman Sakti. Ahh, daripada bingung ngurus nama mending istirahat buat besok. Puncak Slamet sudah menunggu kami…

Paginya aku bangun paling akhir, hehehehehe. Sudah ada teh hangat disampingku. Rendra sama Budi lagi masak sayur sop dan tempe goreng. Yang laennya bongkar tenda dan packing, sungguh nyaman sekali diriku, hahaha. Sebelum aku cerita lagi, ada yang ingin aku omongin dulu tentang kondisi hutan disini. Hutannya masih bagus (kecuali yang di awal-awal, sudah jadi perkebunan), rapat, pohon-pohon besar dan dibawahnya tumbuhan semak, sesekali kita melewati parit-parit sedalam 1,5-2 m. Parit ini terbentuk karena tanah yang tergerus oleh air hujan membentuk semacam sungai kecil berbentuk V. kenapa berbentuk V? Silahkan mengingat kembali pelajaran Geografi SMP kelas1 tentang tipe-tipe sungai menurut bentuknya. Adakalanya pohon tumbang menghalangi jalan sehingga kita karus berjalan diatasnya atau merangkak. Dibeberapa tempat, jalanan menjadi bercabang, kebanyakan akan bertemu kembali di satu titik, tapi ada juga yang tidak. Jadi berhati-hatilah bila memilih persimpangan.

Kembali ke cerita, Pos 5 ternyata dekat sekali dengan tempat kami menginap semalam (mengingatkanku pada waktu perjalanan malam ke Wilis, ternyata kami menginap “hanya” sepelemparan batu dari Watu Godek). Dari sini baru kelihatan Sindoro Sumbing di sebelah timur. Sebentar lagi kami akan menyentuh S yang ketiga. Biasanya pendaki mendirikan tenda disini dan meninggalkan barang-barangnya. Tapi kami bukan pendaki itu, demi bisa berpose di depan kamera dengan carrier, kami rela bersusah-susah membawanya. Dan ternyata keputusan kami itu benar-benar menguras tenaga. Tak terhitung berapa kali kami harus istirahat demi niatan tersebut. Tak bosan pula kami menjawab pertanyaan berikut “Mau lintas ya mas?”. ”Ndak” jawab kami. “Kok ranselnya dibawa?”. “Pengen aja” kami menjawabnya dan sebuah tatapan aneh pasti mengembang di wajah mereka. Ternyata kalau ada pendaki yang bawa ransel ke atas berarti akan lintas jalur (naik dari sini turun di batu raden). Itulah harga sebuah photo.

Sampai di kaki Slamet sudah jam 00.00. hutan belukar berganti bebatuan dan kerikil-kerikil. Sudut kemiringan 60 lebih dengan panjang sekitar 1 km. sempat terpikir untuk meninggalkan ransel di pos 9 ini (pos terkahir) tapi demi yang telah disebut diatas tetap kami bawa juga. Tidak yang setengah-setengah, sekali ya tetap ya. Hahaha. Jalan ke puncak Slamet berbeda dengan ke puncak Semeru. Semeru memiliki pasir yang lebih halus, sedangkan disini lebih tepatnya disebut pasir kasar dengan diameter 0,5-1 cm. Batuannya juga lebih berwarna ketimbang semeru (emang pernah kesana? Sok tau aja. Hahaha, doain sebentar lagi aku bisa bertamu kesana, amin). Jangan khawatir tersesat soalnya tidak ada jalan yang benar disini, silahkan buat jalan sendiri-sendiri, dengan begitu, resiko terkena longsoran pasir menjadi lebih kecil. Skor rata-rata disini 5-2 ( 5 langkah naik, 2 langkah turun). Terakhir dan yang tak kalah penting, jangan sampai tergelincir!!!

Aku sampai puncak pertama kali, terkapar menunggu yang lain. Setelah satu persatu sampai sini, it’s time to celebrate our victory. Ucapan selamat meluncur dari mulut kami satu persatu, tangan ini tak henti-hentinya saling berjabat, rasa syukur tak berhenti aku ucapkan dalam hati, terimakasih Tuhan. Puncak Slamet menawarkan pesona kawah yang indah. Apabila kita mau lebih dekat kesana, tentunya harus menuruni bibir kawah ini. Ingin rasanya melihat kawah yang berwarna kekuning-kuningaan itu dari dekat. Tapi ketika teringat jalan kembalinya, yang harus naik, aku memilih melihatnya dari sini saja. View puncak yang ditawarkan? Standar lah, seperti puncak-puncak gunung yang lain. Awan yang menari-nari, hamparan hutan yang menghijau, angin yang menusuk tulang dan pemandangan lainnya. Tapi, tiap gunung pasti memberi kesan tersendiri-sendiri dan itu akan kami dapatkan ketika perjalanan pulang nanti.

Turun dari Slamet ternyata tidak mudah, jalan yang curam n berbatu memberi resiko yang tidak ringan. Salah injek batu, Welcome in the Hell!! Butuh konsentrasi tingkat tinggi dan ilmu prediksi yang mantab buat menghitung brapa % peluang batu yang kita pilih tidak longsor. Kalaupun udah bisa, masih ada kendala lagi, pergelangan kaki. Medan yang menurun memberikan tekanan maksimum pada persendian yang bisa mengakibatkan bergesernya mata kaki. Dan ketika kami sampai di pos IX, 2 sahabat kami luka parah, 1 luka ringan, 2 orang selamat. Aku sama fajri masih bisa bertahan, 3 lainnya sudah mulai sakit pergelangan kakinya, yang paling parah Rendra sama Win. Mungkin karena pergelangan kakinya tidak kuat menahan beban tubuh, mereke berdua yang jalan pincang untuk sesi pertama. Perjalanan ini juga semakin menarik ketika sekumpulan air berjatuhan dari langit, kami beristirahat di Pos VIII.

Hujan dan dingin memberi suasana yang bagus untuk tidur, kami terkapar. Sesuatu yang membangunkan aku adalah rasa mual. Ternyata penyakit lama yang aku bawa dari perjalananku di Arjuno Welirang juga ikut kesini, masuk angin. Dan karena disini tidak ada suster cantik yang mau merawat aku, aku melakukannya sendiri. Pertama, aku minum obat dulu, kemudian membuat makanan untuk dimuntahkan lagi, waktu itu aku buat mie. Nah,daripada cuman buat mie sendiri, aku masak yang banyak sekalian untuk makan siang. Selesai makan, akupun tidur bentar buat ngilangin pusing. Bangun-bangun tinggal aku, Fajri sama si Budi, yang lain udah jalan duluan. Badan sudah nyaman, perjalanan dilanjutkan.

Perjalanan pulang ini seperti pertarungan kereta ekonomi melawan kereta eksekutif memperebutkan jalur rel. Cuman yang membedakan kalau biasanya klas eknomi kudu mengalah kalau eksekutif lewat, sekarang itu dibalik,yang eksekutif kudu nunggu ekonomi lewat. Begitulah keadaan kami. Rendra sama Win jalan duluan, coz mereka yang paling parah kakinya, yang lainnya kudu nunggu dibelakang. Biasanya setelah mereka jalan 10-20 menit kita menyusulnya. Kenapa tidak jalan bareng saja? Karena kalau harus jalan bareng kita akan cepet capek. Sedikit-sedikit kami harus berhenti istirahat untuk meredam rasa sakit. Bagi yang sakit itu memang membantu, tapi bagi yang sehat, itu sangat menyiksa. Maka daripada itu, kita jalan terpisah. Yang sakit duluan, yang sehat nunggu dibelakang.

Hari mulai malam ketika kita sampai di pos IV. Istirahat sebentar dan kemudian jalan lagi. Senter ini seperti pemberat di tangan kami (untung aku pake headlamp :p), gelapnya malam memberi keuntungan karena kita tidak tahu seberapa jauh lagi perjalanan ini, pokoknya kita harus jalan aja. Nggak enaknya, serem banget. Pohon-pohon itu seperti sedang mengawasi kami, suara tangis dedaunan yang terinjak seakan-akan mereka berkata “Hei… jangan injak aku!!”. Mereka tidak rela kami berjalan di atasnya. Belum lagi makhluk-makhluk lain yang ada disini, kami seperti di kerumuni mereka saja. Untungnya, perjalanan suram itu berlangsung lama. Jam 24.00 kami keluar hutan.

Setelah 6 jam lebih terperangkap di dalam hutan, akhirnya kami bisa juga menikmati cahaya rembulan yang ditemani kerlip-kerlip bintang. Di ujung sana lampu-lampu kota semakin mempercantik malam ini. Terimakasih untuk viewNya. Sekarang kami berjalan diantara perkebunan warga, sesekali kami memasuki hutan pinus yang memisahkan ladang satu dengan ladang lainnya. Dan dalam ketenangan malam, kami akhirnya tersesat juga.
Kami mulai memperdebatkan rute setelah pertama kali keluar dari hutan seram tadi, Hendra yakin kita udah salah jalan, sedangkan Fajri yakin jalan ini udah benar. Untuk yang ini aku yakin Fajri yang bener. Perdebatan berikutnya di sebuah pertigaan, yang satu turun kebawah, sedangkan yang satunya belok kanan, aku memilih yang kekanan. Yang ketiga disebuah pertigaan juga, yang satu ke kiri, yang satunya lurus. Waktu itu tidak banyak yang tahu kalau ada pertigaan ini, jalanan waktu itu berkabut tebal, cuman aku sempat bilang Fajri kalau ada pertigaan ini, kami ambil yang lurus.

Setelah lama berjalan ternyata jalan ini menuju sungai, padahal pas berangkatnya kami tidak melewati sungai ini. Kami pun bingung, waktu itu aku sempat meriksa jalur ini sementara yang laen nunggu disungai dan aku yakin ini jalan yang salah. Kamipun memutuskan untuk kembali, sebelumnya kami sempat berpikir untuk susur sungai saja karena menurut perkiraan sungai ini adalah sungai yang kami lihat di kiri kami pada waktu berangkat kemarin. Tapi aku menolaknya, terlalu berbahaya jalan malam lewat sungai dengan kondisi 3 orang luka (Hendra mulai mengeluh soal kakinya). Mas Win juga sudah mulai ndak kuat jalan lagi, dia pengen ada yang balik dulu buat mastiin jalan ini salah. Tapi dengan sedikit bujuk rayu akhirnya mereka semua mau balik kepertigaan yang aku bilang ke Fajri.

Sampai dipertigaan yang aku bicarakan dengan Fajri kami istirahat. Ternyata waktu aku membicarakan pertigaan ini dengan Fajri dia tidak mendengarnya dan dia juga tidak tahu kalau ada pertigaan ini. Aku dan Fajri kebagian tugas buat meriksa jalan. Kabut pagi itu membuat jarak pandang jadi sedikit, headlamp ini memjadi sia-sia. Setelah bebarapa lama, akhirnya kami menemukan tanda yang kami lihat siang kemarin, kamipun kembali ke pertigaan tadi. Setelah memakai jas hujan, kami berlima melanjutkan perjalanan lagi, waktu itu kabut mulai mencair. Dan kami akhirnya menemukan Pos I, lega sudah hati ini.

Perjalanan berikutnya adalah melewati kebun wortel. Puas dengan makanan kelinci, sekarang berganti dengan bunga kol dan yang terakhir adalah jagung. Berjalan di tengah-tengah ladang di sinari cahaya rembulan menawarkan sensasi yang berbeda. Ada perasaan takjub, hati ini berdesir, Tuhan memberikan akhir yang indah untuk sebuah penyerahan diri kepadaNya. Akhirnya, jam 3 pagi kami sampai di pos pendakian. Capeknya sudah luar biasa, bayangkan saja, mulai jam 2 siang sampai jam 3 malam!! Dan yang lebih bagus lagi pos ini sudah tutup, kami pun tidur di parkiran beralaskan matras. Besok pagi kami pulang.

Aktivitas pagi ini adalah bersih diri, jangan berharap untuk mandi, setelah pengalaman mandi pertamaku disini, aku mendingan mandi di terminal nanti. Sarapan kali ini adalah nasi goreng, dingin-dingin emang enak makan yang hangat. Selesai sarapan giliran ransel yang dibersihin. Sekarang tinggal menunggu angkot untuk pulang.

Pulangnya kami bareng dengan anak-anak dari Jakarta juga, ternyata meraka dulunya masih satu kampus cuman lebih tua mereka aj. Rute pulang kali ini berbeda dengan waktu kami berangkat, kami lewat BatuRaden. Nggak nyesel deh pulang lewat sini, viewnya itu loh, kereeen. BatuRaden adalalah sebuah wana wisata(wisata hutan) yang menawarakan pemandangan yang luar biasa. Kami berjalan di lerang hutan dengan pemandangan kota di bawah sana. Hutannya juga bagus sekali, pohon disini besar-besar, sesekali kami melewati sungai yang eksotis dengan air terjun mini. Burung-burung beterbangan cuek diatas kami, tak sadar kalau mereka sedang kami kagumi. Cukup lama kami menjelajahi BatuRaden, setengah jam lebih, sebelum akhirnya kami kembali dihimpit semen, bata, besi, dan teman-temannya.

Kami berpisah di terminal Purwokerto, aku kembali ke Tulungagung mereka balik ke Jakarta. Disinilah akhir dari sebuah awal yang baru. Terimakasih untuk semuanya, yang telah menungguku di Masjid, yang dengan penuh semangat menjelajahi Gn Slamet, yang dengan tenaga terakhir bisa menyentuh puncak, yang dengan sebelah kakinya menaklukkan malam, yang dengan keberanian mengatasi ketakutan masing-masing, dan akhirnya membuat kita berbeda dalam harmoniNya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS