RSS

Ciremai, Sebuah Cerita

--=Sebuah Pengantar=--
Awalnya, tidak terlintas dalam pikiranku untuk mendaki Ciremai. Setelah proyek Semeru gagal, peluang liburanku tinggal Penjaringan Minat Arismaduta. Waktu itu anak-anak jojga lagi kumpul di sekret, aku masih di kantor, ketika ayang sms kalo Gunanda mau pinjem ransel buat ke Ciremai. Hari selasanya Gunanda ke rumah ambil ransel. Dari ngobrol-ngobrol sebentar itu aku jadi tau ternyata mereka berencana berangkat hari jum’at (bukan kamis seperti yang aku dengar sebelumnya). Aku pun tergoda, dan sebelum niat itu hilang, aku putuskan untuk ikut berangkat….


--=Kereta Indonesia=--
Meeting point pertama kami adalah stasiun T.Agung. Kami bertiga (Aku, Feri, Gunanda) berangkat dari sini naik Matarmaja. Waktu sudah menunjukkan jam 17.23 tapi Matarmaja belum kelihatan lokonya. Kami menunggu sambil berbincang-bincang dengan seorang teman yang telah mengantar aku sampai disini. Hampir setengah jam ketika loko putih itu terlihat, kereta yang mengantar kami ke Cirebon pun tiba.

Matar (begitu aku memanggilnya) yang ini terlihat “lebih cantik”. Gerbongnya baru saja di cat, kursinya masih baru, atapnya masih putih, lampu normal, dan kipas angin yang berputar. Sepertinya kereta ini baru saja diremajakan. Sepertinya, rencana PT KAI untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan sudah mulai berjalan. Denger-denger semua kereta ekonomi antar propinsi akan di beri AC dan bebas dari asongan. Sekarang giliran kitalah yang menjaga, jangan sampai fasum (fasilitas umum) seperti kereta api ini tersentuh tangan-tangan vandalisme dan jangan lupa belilah tiket agar kereta di Indonesia semakin baik.

Hanya ada dua kejadian yang menurut aku bagus diceritakan waktu naek Matar. Pertama ketika Feri mencoba ngajak ngobrol seorang cewek. Waktu itu aku masih duduk di kursi, disebelahku ada seorang cewek. Karena capek duduk, aku tukar tempat dengan Feri yang masih berdiri. Mungkin untuk membunuh sepi, Feri mencoba mengajak ngobrol mbak yang duduk disampingnya. Satu dua pertanyaan masih di balas oleh si wanita, tapi begitu masuk pertanyaan ke tiga, sebuah jawaban yang sedikit menyakitkan keluar. “Kenapa nanya-nanya!!”. Feri tersentak mendengarnya, gerbong kereta seakan menghimpitnya kemudian meremukkan tubuhnya. Feri terdiam, tak dapat dia menggerakkan jakunnya, sebuah jawaban yang telak memukul wajahnya hingga KO. Hehehehe

Yang kedua ketika ada pemeriksaan tiket kereta. Waktu itu hanya aku yang beli tiket, yang lainnya jadi penumpang gelap. Tepat seperti yang kami duga, pemeriksaan terjadi di jalur Solo-Semarang. Aku yang beli tiket tenang saja ketika kondektur menanyakan tiketnya. Ketika giliran Gunanda n Feri ada tiga opsi kemungkinan yang terjadi. Pertama, Feri n Gun dimarahi dan diturunkan di stasiun terdekat. Kedua, mereka dikenakan denda dan harus membayar tiket 2x lipat. Ketiga, mereka berdamai dengan petugas dan memberi uang tau sama tau. Dan jawabannya adalah pilihan ketiga. Cukup dengan modal Rp 10.000,00/orang mereka berdamai, sebuah solusi gampang dan saling menguntungkan. Begitulah mental petugas kita dan penumpangnya. (no flame ^_^)


--=Terimakasih Telah Menanti=--
Jam menunjuk angka 6.30 ketika aku tiba ditempat kelahiran Prabu Siliwangi. Cirebon adalah kota yang berukuran medium, tidak sebesar Surabaya, namun lebih besar dari Kediri. Cirebon adalah kota pertemuan kebudayaan Jawa dan Sunda. Kita akan menemukan orang-orang bercakap dengan bahasa Sunda dan bahasa Jawa dalam sebuah keharmonisan. Bagi yang ingin berwisata budaya, Cirebon menawarkan 4 keraton sekaligus, yakni Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan dan Keraton Keprabon. Semuanya memiliki arsitektur gabungan dari elemen kebudayaan Islam, Cina, dan Belanda. Kota ini juga terkenal sebagai penghasil udang.

Di Cirebon kami bertemu Tim Surabaya (Rangga dan Imam), mereka sudah sampai duluan. Setelah percakapan yang singkat kami langsung ke melanjutkan perjalanan ke Cilimus (Fajri sudah menunggu disana), butuh waktu 1 jam untuk sampai disana. Kami turun di pertigaan Cilimus, orang sini menyebutnya pertigaan Linggarjati. Acara selanjutnya adalah foto-foto di jalan Linggarjati. Acara dilanjutkan dengan naik angkot ke pos pendakian.



Sopir angkot yang kami naiki sangat ramah, namanya Pak Kusnadi. Waktu itu hanya ada kami berenam dalam angkot, jadi kami bisa leluasa duduk dimana saja. Beliau kemudian bercerita mengenai perjanjian linggarjati dan pernik-perniknya. Kami juga diajak berfoto di depan monumen Linggarjati. Selanjutnya, beliau mengantar kami ke pos pendakian (biasanya sih cuman sampai monumen). Dan semua cukup dibayar Rp 3.000 saja.

Pos pendakian Ciremai ini sangat terawat. Tempat pendaftarannya tertata rapi dengan radio komunikasi dipojok kanan. Tidak ada sampah yang berceceran di sekitar pos pendakian, semua kelihatan bersih. Kamar mandinya pun juga wangi (tidak seperti di Slamet yang dekat kandang sapi, sempit dan bau), ada tempat sholatnya juga. Benar-benar pos pendakian bintang lima.


--=Langkah Pertama=--
Selesai sarapan nasi campur kami langsung berangkat. Pos berikutnya adalah Cibunar, sekitar ½ jam perjalanan. Jalan menuju cibunar masih gampang, campuran aspal dan makadam. Jalanan masih datar-datar saja, perkebunan penduduk berada di kanan kiri jalan. Sempat kami melewati semacam villa dengan view yang bagus (persawahan dan kota).

½ jam pertama ini kami masih beradaptasi, nafas belum teratur, kaki kaget dipaksa kerja keras membawa ransel. Fery jadi korban pertama pendakian ini. Sering kami menuggui Feri ruku’, mungkin dia masih kaget karena sudah lama sekali tidak naik gunung. ½ jam ini terasa sangat menyiksa. Sampai di Cibunar kami istirahat sebentar menata punggung dan mengatur nafas. Tubuhku sudah sedikit nyaman ketika kami kembali berjalan. Otot kaki sudah terbangun dari tidurnya, punggung sudah menyatu dengan ransel, nafas mulai teratur.

Medan selanjutnya mulai naik dan berdebu. Di sebelah utara terlihat laut jawa yang luas. Pohon pinus merah ( kayunya berwarna merah karena jamur) menghias sisi kanan kami. Jalan berdebu mulai hilang ketika kami sudah masuk hutan. Pepohonan disini masih bagus, pohon peneduh dengan semak-semak dibawahnya yang masih rimbun. Sesekali terlihat kera melintas di atas kami, mungkin dia bingung melihat temannya berjalan dengan dua kaki tidak bergelantungan seperti mereka. Pos demi pos kami lalui sebelum kami isitrahat di Kuburan Kuda. Kami istirahat disini, 14.20. Entah kenapa tempat ini disebut begitu, mungkin dulu ada kuda yang tewas dan dikubur disini. Kami tidak ambil pusing memikirkan nama ini, yang penting kami bisa istirahat.


-==Makan Malam=--
Sehabis Kuburan kuda kami langsung disambut medan dengan kemiringan 70-80 sekitar 200m, sungguh menguras tenaga. Setiba diatasnya ternyata ada jalan lain yang memutar dan lebih landai. Setalah melewati tanjakan penyesalan (karena tau ada jalan memutar), medannya lebih ringan, sekitar 60-70. Kami juga bertemu dengan tim dari Tangerang, mereka berjumlah 10 orang. Meraka menjadi tim pembanding dalam perjalanan ini, kami saling salip menyalip. Ketika kami berhenti istirahat mereka mendahului, begitu sebaliknya.

Tiga pos diatas Kuburan kuda ternyata berdekatan. Target awal kami 4 pos kami lewati dalam 4 jam. Kuda-Pengalap kami tempuh 1 jam (sesuai target). Pengalap-Tanjakan Seruni-Tanjakan Binbin sangat berdekatan (1 jam perjalanan). Sampai Binbin, jalanan masih lumayan mudah (60-70). Menurut hitung-kasar, kami bisa bisa sampai labih cepat dari estimasi awal. Binbin-Tere kami target ditempuh dalam 1 jam (berarti hemat 1 jam)


Begitu keluar Binbin, jalanan mulai sulit. Jangan berharap menemukan tanah datar disini. Tanjakan seperti tiada hentinya. Sudah lama kami berjalan, tapi Bapa Tere belum juga kelihatan. Akhirnya kami menemukan sebuah tanah lapang dan memutuskan memasak disini (17.45). Nesting, kompor, gas, parafin, beras, telur minyak goreng, dan mie kami keluarkan. Menu kali ini adalah nasi omelet chef sodik, hehehe. Pertama-tama kami masak nasi dulu, dengan asisetnsi dari Feri nasi aku masak. Nasi selesai berganti membuat omelet. Mie yang sudah direbus dicampur bumbu dan telur kemudian digoreng. Sesi pertama membuat omelet gagal, omelet pecah dan lengket di nesting. Ternyata minyaknya kurang banyak dan terlalu cepat dibalik. Sesi kedua, minyak kami tambah dan nesting di pindah pake kompor gas. Hasilnya, omlet mulai terlihat pada jalur yang benar, tidak pecah dan bisa dibalik dengan benar. Seterusnya, omelet selalu berhasil. Makan malam, istirahat, dan berangkat jam 20.00


--=Malam Pertama=--
Berjalan sebentar dan kami menemukan Bapa Tere di atas kami. Tim Tangerang tarnyata bermalam disini dan kami terus berjalan. Malam ini rembulan terlihat diantara pepohonan menyinari jalan yang kami lewati. Hutan benar-benar asing bagiku ketika malam. Semua serba hitam dan misterius, entah apa yang bersembunyi di dalamnya. Aku hanya menatap kemana cahaya headlampku menuju. Malam ini, hutan bukan milik kami.

Kami berhenti ketika mendapat sebuah tanah lapang yang luas. Bulan terlihat dengan jelas dari sini. Tempat ini ternyata adalah pos Batu Lingga. Menurut Cerita disini dulunya ada sebuah batu besar dan menurut cerita masyarakat setempat dasar kawah gunung Ciremai sedalam Batu Lingga ini. Jadi kalau kita berjalan lurus dari Batu Lingga kita akan sampai di dasar kawah.. disini kami juga menemukan sebuah memoriam, semoga dia tenang disisiNya, amin.

Dari sini jalanan mulai berbatu, dinginnya udara juga semakin terasa. Korban berikutnya dari pendakian ini adalah Rangga, dia mulai masuk angin. Mungkin karena sudah kecapekan dan dingin yang menusuk akhirnya kena masuk angin. Kami istirahat sebentar menunggu Rangga memulihkan diri. Rangga seperti sudah hampir mati saja, seperti Feri waktu diawal-awal perjalanan. Kami berjalan kembali untuk mencari tempat yang bisa untuk mendirikan tenda. Ada beberapa tempat datar tapi tidak cukup untuk mendirikan dua tenda. Jam 23.00 akhirnya kami menemukan tempat datar yang cukup luas. Kami bermalam disini. Feri, Gunanda, dan Rangga di tenda Eiger, sisanya di tenda Reiner.


--=Pra Puncak=--
Sebenarnya alarm di hp sudah aku set jam 4 tapi kenapa baru kedengeran jam 5 an yah? Ternyata alarme sudah bangun dari tadi tadi tapi kupingku masih tersumbat lelah. Semuanya masih malas bangun, pagi ini masih terlalu dingin untuk keluar tenda. Hanya aku dan Fajri yang diluar, menikmati semerawang cahaya mentari. Akhirnya semua bangun juga, setelah aku gangguin tidurnya. Masih malas memang, tapi kami harus segera berangkat. Semua perlengkapan kami tinggal di tenda. Kami naik hanya berbekal 2 botol air 1500ml dan 2 botol 500ml.

Berjalan 3 menit ternyata kami sampai di Buana 1. Aku hanya bisa tersenyum, mengingatkanku waktu pendakian Slamet dulu ketika kami bermalam tepat dibawah pos 5. Jalanan semakin sulit saja, banyak tempat dimana kami harus menaiki anak tangga setinggi 70-80 cm. Untung semua beban sudah kami tinggal di tenda kalau tidak mungkin kami akan kewalahan. Berjalan 1 jam kami sampai di pengasinan, kami bertemu tim Kuningan disini. Mereka sudah sampai disini malam tadi. Bercakap-cakap sebentar dan kemudian naik lagi

Mulai dari sini, medan tanah, batu dan debu menjadi satu. Kaki harus berhati-hati melangkah kalau tidak ingin terpeleset. Ada banyak tempat yang batuannya gampang longsor. Ada juga tanah yang terlihat kuat tapi ketika di injak pecah. Disini yang perlu dipertajam adalah adalah ilmu prediksi. Kita harus pandai-pandai menghitung kekuatan tanah/batu yang kita injak apakah kuat menahan berat badan kita. Salah meprediksi, siap-siaplah terjatuh. Selain itu kita harus bisa membaca jalur. Jangan cuman memikirkan langkah pertama kita tetapi juga 5-6 langkah kedepan kalau tidak mau salah jalan. Setelah berjibaku selama 1,5 jam akhirnya kami sampai juga di puncak ciremai, 09-08-09.

--=Puncak=--
Puncak Ciremai adalah sebuah kawah mati dengan kedalaman 300-400m dari bibir kawah. Kawah yang telah mati itu berwarna putih dengan sedikit warna cokelat di tepinya. Di dekat kawah juga terdapat sebuah hutan semak yang tidak luas tapi cukup memberi komposisi warna hijau yang dominan. Entah berapa diameter kawah ini, mungkin sekitar 1000m. semuanya berupa batu dan tumbuhan semak. Dari atas sini, gunung Slamet terlihat di sebelah selatan menyembul diantara awan. Awan-awan putih sangat kontras dengan warna biru, memberikan atasan yang terang dengan bawahnya yang hijau cokelat. Dikejauhan yang terlihat hanya warna biru, mungkin laut utara dan laut selatan.

Kami sangat senang ketika sampai di atas sini. Rasa capek hilang begitu saja, berganti dengan kegembiraan yang tak terkira. Senyum-senyum kemenangan keluar dari pipi ini. Tak lupa ucap syukur kami haturkan kepada Allah SWT atas karuniaNya yang tak ada habisnya. Tak sia-sia perjuangan kami hari ini, akhirnya kami sampai di puncak Ciremai.

Acara selanjutnya adalah foto-foto dan foto-foto. Entah udah habis berapa gambar, pokoknya banyak. Acara lainnya, tanda tangan di kaos yang sudah aku bawa dari rumah.Ini adalah kaos ke empatku. Tradisi ini aku mulai pada waktu aku naik gunung Lawu di tahun 2008. Kemudian aku lanjutkan sampai sekarang ini. Satu lagi acara yang mungkin tidak di semua gunung bisa dilakukan, telepon. Untuk pertama kalinya aku naik gunung bisa mendapat sinyal di puncaknya. Yang pertama aku telepon tentu saja dan tidak bukan adalah ayang aku donk. ^_^

--=Haus=--
Setelah puas menikmati puncak Ciremai, kami akhirnya turun jam 10.30. sama sulitnya seperti naiknya, kami harus tetap berhati. Selangkah demi selangkah kami menuruni medan berbatu. Ketika turun ini kami berjumpa dengan tim Tangerang yang menjadi teman perjalanan waktu naiknya. Sampai di Pengasinan istirahat sebentar dan melanjutkan langkah lagi.

Ada satu hal yang menggangu perjalanan turun ini, kami kehabis air. Awalnya kami hanya membawa air 2 botol 1500ml yang kami plot cukup buat naik dan turun. Ternyata air segitu hanya cukup untuk naik. Sampai puncak air sudah habis. Yang paling sengsara adalah Rangga. Sudah berapa botol air mineral dia razia, tetapi tak satupun ada airnya. Tapi dia terus mencari, lebih baik jadi pemulung botol aqua daripada mati kehausan, mungkin begitu prinsipnya. Akhirnya Rangga beruntung nemu sedikit sisa kratingdeng, lumayan buat membasahi tenggorokan. Feri juga nemu air dari botol aqua bekas. Tapi semua itu belum cukup mengobati rasa haus mereka. Waktu itu ada antangin cair, tanpa pikir panjang mereka berdua (Rangga dan Feri) meminumnya. Segar memang pada awalnya, tapi terasa panas berikutnya. Sungguh, perjalanan turun ini paling menyiksa bagi penenggak air.

Sampai di camp, target pertama kami adalah minum air!! Seperti tumbuhan layu yang diberi air, wajah mereka langsung sumringah begitu air lewat tenggorokan mereka. Sebenarnya aku masih punya sisa air sedikit, tapi kalau dibagi kesemua tidak akan cukup. Maka air itu aku sembunyikan sampai semua tiba di camp. Satu pelajaran penting yang kami dapat hari ini. Bawa air sebanyak yang kalian bisa bawa!!


--=Makan Siang=--
Selesai berkangen-kangen dengan air acara kami lanjutkan dengan memasak. Rangga kali ini yang jadi chef dapur kita. Ada beberapa menu kali ini, sayur makaroni, telur goreng, sarden, dan mie kuah. Chef Rangga kebagian masak nasi. Semua beras yang tersisa, dia masak. Sementara Rangga mengurus nasi, yang lain bagi tugas menyiapkan menu lainya. Ada yang sibuk bikin telur goreng, aku kebagian masak sayur. Ada juga yang bikin bubur instan buat nunggu semua matang.

Begitu acara masak memasak selesai sekarang tinggal memberi penilaiannya. Dimulai dari nasi, nasinya masih berupa karon. Karena berasnya kebanyakan, nasinya malah ndak matang dan menjadi karon. Banyak yang kami buang, kami pilih yang sudah matang saja. Makaroni sayurnya sukses ditambah sosis, telur goreng dan mi kuah berhasil dengan baik. Sedangkan sardennya cukup dihangatkan saja. Makan siang selesai, packing dan berangkat jam 14.30


-==Pulang Juga=--
Perjalan pulang ini sangat “ringan” dalam arti sebenarnya. Air minum banyak yang sudah habis, makanan juga begitu. Isi ransel tinggal perlengkapan tidur dan beberapa helai baju saja. Dan perjalanan pulang ini juga sangat “ringan” dalam arti yang bias. Jalanan menurun memberi kita kecepatan lebih dengan terori gravitasinya. Semua terasa cepat, dan tak terasa lama. Dan kami saling salip menyalin dengan tim Tangerang lagi.

Perjalanan pulang ini kami selingi dengan canda tawa. Imam menjadi menjadi targetnya. Seperti kabar kabur yang kita dengar, sepertinya Arjuna kita ini sedang berjuang memikat hati Srikandi. Entah bagaimana cerita awalnya, akupun baru tau pas pendakian ini. Setiap ada celah, Imam selalu kami “jatuhkan”. Dan apapun yang kami bicarakan, ujungnya tetap ke Imam. Imam hanya bisa membela sekedarnya, tak mungkinlah dia melawan kami berlima. Kepsrahannya ini seakan membenarkan apa yang kami kira. hehehehe

Perjalanan sedikit melambat ketika cedera lama Fajri kambuh. Lutut Fajri ternyata tidak kuat menahan beban tubuhnya. Kami berhenti Pengalap untuk memulihkan cedera lututnya. Mulai dari sini Fajri kami pindah ke barisan paling depan. Aku jadi sweper sendirian dibelakang. Akhirnya formasi pendakian yang sudah dipatenkan sejak jaman bauleha berubah. Aku dan Fajri sudah jadi tim sweper entah sejak kapan. Hampir disemua pendakian yang kami ikut dapat dipastikan tim swepernya adalah kita. Sudah lama sekali kita melepas jabatan leader (terakhir jadi leader waktu masih SMA, 6 tahun lalu).


--=Lampu Kota=--
Masuk maghrib ketika kami tiba di Kuburan Kuda. Kami berhenti lama disini, menunggu adzan selesai. Makan malam dengan roti dan mempersiapkan senter. Perjalanan malam ini begitu sepi. Tidak seperti tadi yang penuh canda tawa (tentang Imam), kali ini benar-benar tertutup mulut ini. Tidak ada tawa terdengar, tidak ada teriakan bersahut, semua hanyut dalam dunianya sendiri. Kata-kata hanya keluar ketika kami mendiskusikan tentang persimpangan mana yang harus kami ambil.

Kami berhenti lama lagi di atas cibunar. Disana pemandangan malam kota sungguh indah. Sejauh mata memandang hanya ada lampu lampu, dan lampu. Sungguh sayang untuk dilewatkan. Disini juga tim Tangerang beristirahat, menikmati lampu-lampu itu. Berjalan sedikit lagi dan sampai juga di Cibunar.

Kami berhenti di Cibunar untuk mengambil air dan istirahat. Kemudian perjalanan kami lanjutkan ke pos pendakian yang berjarak ½ jam dari sini. Kami sampai di pos jam sekitar jam 21.00. Seneng juga akhirnya bisa melihat bangunan ini lagi. Tapi kami ndak boleh berlama-lama disini kalau masih ingin naik kereta ke Jogja. Yang pertama kami lakukan adalah lapor dulu. Kemudian kami bersih-bersih badan, ganti baju, packing lagi. Dan yang paling penting beli makan.

Sembari menunggu makan malam jadi, sekarang waktunya nego Pak Kusnadi untuk antar kami ke stasiun Cirebon.Waktu itu dia pasang taris Rp 100.000,00. Imam yang kebagian jadi juru runding, akhirnya harga yang disepakati jadi Rp 75.000,00. Sambil nunggu makanan jadi, kami berburu cinderamata dari Ciremai. Kebanyakan dari kami membeli stiker dan gantungan kunci. Dan setelah dipikir-pikir, nasi pesenan kami lebih baik dibungkus saja demi menghemat waktu. Jam 22.00 kami meninggalkan pos pendakian ini


--=Selamat Jalan Cirebon=--
Angkot ini melaju kencang, jalanan lumayan sepi malam ini. Hanya ada kami berenam di angkot ini, serasa naik travel vip. Tak lama kemudian kami berpisah dengan Fajri d pertigaan Linggarjati. Fajri langsung ke Jakarta, kami ke Cirebon kota. Sepanjang jalan, hanya tersisa 4 orang yang bertahan, aku, Gunanda, Imam, dan Rangga. Banyak hal yang kami perbincangkan di dalam angkot vip ini. Mengenai pendakian ciremai ini, gunung-gunung yang lain, kisah-kisah misteri dan masih banyak lainnya. Sambil bercerita, tak lupa aku menikmati jalanan Cirebon di malam ini. Jarang-jarang kesini, harus dinikmati setiap detilnya.
Kami datang tepat pada waktunya, kereta bengawan yang akan mengantar kami berangkat 30 menit lagi. Sampai di stasiun cirebon kami langsung beli tiket kereta dan makan nasi bungkus. Hmm, nikmat sekali makan malam ini, nasi, telur, sambal, mie. Menunggu sebentar dan kami langsung bergabung dengan penumpang lain yang sudah berjubel-jubel di dalam gerbong kereta. Biarpun tak dapat tempat, yang penting kami bisa pulang. Jogja, kami datang!!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Slamet= Petualanganku

Dalam rangka memeriahkan Pemilu 2009, Aku, Fajri, dan ketiga teman satu kantornya pergi ke gunung Slamet. Tapi jangan dikira kita golput ya, sebagai warga negara yang baik dan patuh terhadap hukum,hehehe, kita wajib untuk memberikan suara pada pemilu ini. Apa sih arti suara kita? Satu suara tidak bisa merubah apapun.Toh setelah terpilih mereka yang di senayan akan lupa janji-janji mereka dalam pemilu kemaren. Mereka akan sibuk buat mengisi kantong mereka sendiri, bukan untuk mengisi kantong para konstituennya. Mereka hanya menganggap kita ada saat pemilu, setelah itu kita adalah sampah yang harus dibuang jauh-jauh.

Memang, itu ada benarnya, tapi menjadi golput bukanlah sebuah solusi. Dengan tidak memilih berari kita menyerahkan bangsa ini kepada para orang-orang bejat disana, dan pada akhirnya negara ini akan tambah rusak lagi. Kalau mau negara ini tambah rusak, silahkan golput saja! Kalau mau negara ini menjadi lebih baik, rubahlah. Rubahlah negara ini mulai dari diri kita sendiri, dengan memberikan satu suara kita berarti membantu merubah negara ini. Pilihlah yang terbaik dari yang ada dan berharap mereka mampu menjadi lebih baik. Dan ketika pilihan kita itu salah, PILIH YANG LAIN DI PEMILU BERIKUTNYA!! Kok jadi ngomongin pemilu gini ya? Mana nih cerita perjalan ke Slametnya? Maaf pak moderator, intronya kepanjangan n menyimpang dari topik!!! Wkwkwkwkwk. Iya….iya, nih ceritanya

Tidak seperti biasa-biasanya, kali ini aku berangkat sendiri dari my hometown, Tulungagung (I was born in Trenggalek, but Tulungagung is my HOME). Jam 7 malam aku berangkat, di antar calon istri ke terminal. Ndak ada acara tangis-tangisan n peluk sayang, langsung cabut. Sampai ketemu 3 hari lagi!!!

Route yang aku lewati lumayan jauh, Tulungagung, Braan, Jogya, Purwokerto. Kalo ditotal sekitar 12-13 jam naik bus. Hufff, perjalanan yang melelahkan. Untungnya aku berangkat malam jadi ndak begitu kerasa lama, kan bisa sambil tidur. Sampai Jogya sudah hampir tengah malam, waktu itu cuman ada 5-7 orang yang turun, sama dengan waktu berangkat kesini. Bagi yang biasa maen-maen kesini siang hari pasti kaget waktu ngeliat terminal ini pas malam, sepi….sepi…..sepi banget, bus yang ke purwokerto pun cuman ada satu. Pindah bus trus tidur lagi.

Mulai jalan ke Purwokerto, aku udah ngga bisa tidur lagi. Waktu itu udah jam 3.40, cuaca bagus sekali. Bagi yang suka sama suasana mistis/horor cocok banget, mirip di bus hantu. Bayangin aja, di dalam bus cuman ada aku, sopir+crew, n beberapa penumpang. Jalanan sepi banget, kita ndak simpangan apapun dari tadi, kabut dimana-mana, kanan kiri pohon-pohon besar, n bus ini pelan banget, perfect scene!!! Dari yang semula menyeramkan jadi sangat-sangat retro ketika matahari sudah terlihat. Bagi yang pernah liat pilem Indonesia di tahun 60’an, kita dapat melihatnya sekarang tanpa harus naik mesin waktu. Jalanan ini ternyata membelah hamparan padi yang luas, sesekali kami melewati perkampungan, aku melihat rumah-rumah kecil dengan penduduknya yang ramah, kudengar mereka asyik bercakap-cakap tentang hasil sawahnya, hama tikus yang menggangu panen mereka, ayam pak Kirman yang hilang, atau sekedar menikmati cuaca pagi yang dingin, sinar mentari makin membuat tempat ini menjadi kekuning-kuningan. Waktu serasa melambat di tempat ini, it’s classic!!!. Beranjak siang, wajah garang Indonesia mulai terlihat. Bus yang penuh sesak penumpang, orang-orang dingin lalu lalang dengan kesibukan masing-masing, calo terminal teriak-teriak seperti liat Inul goyang ngebor, sikap ramah yang bermaksud lain, senyum simpul yang menipu, Ironis!!!

Aku ketemu Fajri n pren di masjid yang aku lupa namane, mereka dah menungguku cukup lama. Maaf ya. Mas Win, Budi, Rendra, aku kenalan dengan mereka. Tak perlu lama-lama kenalannya, kita pun lansung berangkat ke pertigaan Serayu. Kita jalan kaki kesana, lumayan buat pemanasan. Jaraknya entah berapa kilo, kita jalan kaki sekitar ½ jam lebih. Lumayan berkeringat juga, dah lama ga’ jalan-jalan sih. Sampai disana, wajah garang Indonesia mulai terlihat lagi. Begini ceritanya, disini ada dua angkutan yang melayani rute pertigaan serayu – pos pendakian, coax dan angkot. Coax? Nama yang aneh untuk sebuah alat transportasi. Beroda empat, punya bak terbuka di bagian belakang, itulah coax. Mobil pick up, itulah terjemahan dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka lagi memperebutkan “kita”, si angkot ngotot kita jadi penumpang mereka, si coax juga ndak mau kalah. Si angkot mengklaim melihat kita lebih dulu dan itu berarti kita jadi penumpangnya, si coax nggak diem aja, mereka melobi kita buat naik coaxnya. Kita cuman bisa diem aja melihat mereka ngrebutin kita. Sambil nunggu sapa yang menang, aku sarapan dulu nasi sayur tambah telur. Makan disini ambil sendiri, artinya aku boleh ambil sekuat aku mampu, hahaha. Selesai sarapan akhirnya pemenangnya adalah si angkot. Berangkatlah kita ke pos pendakian.

Standarnya sih angkot ini isinya cuman 8 orang + 1 sopir. Tapi, orang Indonesia emang kreatif banget, dari 8 bisa jadi 17 orang. Hebat euy. Tapi tak apalah, biarpun keselamatan nggak terjamin yang penting bisa nyampek pos. kita seperti ikan sarden dalam kaleng berkarat, setiap mobil ini melewati tanjakan hati serasa berdebar. Gimana kalau waktu naik mobilnya ngga kuat trus seluncur turun? Ndak kalah deg-degan pas turunan, kalau tiba-tiba remnya blong gimana? Ngeri juga mbayanginnya, tapi untungnya itu ngga’ sampai kejadian. Satu persatu penumpang angkot ini turun juga hingga menyisakan kami berlima. Lega rasanya sekarang, kursinya bisa buat tidur-tiduran. Tak lama berselang, kita sampai di pos pendakian dengan selamat.

Kata ibu xxx (penjaga pos sekaligus yang ngurusin perijinan buat pendakian), hari-hari ini banyak yang mendaki ke Slamet. Ada lebih dari 3 tim yang berangkat pagi hari tadi, belum yang berangkat kemaren pas pemilu. Yang akan berangkat juga masih ada, 11 orang dan kami berlima. Kami berangkat habis jum’atan di dekat masjid sini. Berhubung hari ini banyak pendaki yang sowan ke Slamet akhirnya masjid ini penuh sampai ke jalan-jalan. Akupun kebagian tempat diluar masjid pakai matras yang aku bawa. Dan yang lebih keren lagi, hampir semua jemaat disini pake sandal keren-keren. Ada eiger, north face, boogie, northwand, cartenz, dll. Bukan cuma pendaki aja yang make tapi juga penduduk lokal. Entah dapet dari mana mereka, mungkin ada pendaki yang kehabisan uang terus jualan sandal. Hehehehe

Jalan pertama yang kami lewati adalah perkebunan penduduk. Setengah jam pertama napas serasa udah mau habis aja. Maklum, sudah 6 bulan lebih ga da aktifitas kegunung, jadi masih belum bisa ngatur napas lagi. Capeknya kerasa banget karena sebentar-sebentar kita berhenti, pengalaman pertama pendakian bareng orang-orang yang pertama kali mengenal gunung. Hijaunya dedaunan dan keriputnya kulit ibu pertiwi sudah cukup untuk melepas penat ini. Perjalanan awal ini masih dalam skala normal menurut aku. Tidak terlalu curam, masih cukup nyaman. Istirahat besar pertama kami adalah di sebuah tempat yang sebut saja pos 2 (pos 2 yang sebenarnya juga belum ketemu atau mungkin udah terlewati), kira-kira jam 17.00. Sembari istirahat tak lupa secangkir energen hangat menemani kami menikmati sore ini. Capek hilang, tantangan datang. Jalan malam adalah sesuatu yang tidak terlalu aku suka. Pertama, jarak pandang jadi terbatas sehingga kemungkinan tersesat semakin besar. Kedua, gelap memberi kesan “tidak nyaman”. Ketiga, cuaca jadi tambah dingin. Beruntung kali ini aku bawa head lamp jadi ga’ capek pegang senter. Sayonara senter, selamat datang head lamp :P

Target kami jam 21.00 harus sudah sampai pos 4 dan istirahat. Tapi, manusia hanya bisa berusaha, Tuhan lah yang memutuskan. 23.00 kami sampai pos 4 dan pos ini sudah ada yang menempati, kami jalan ½ jam sebelum ketemu tempat buat camp. Akhirnya isirahat juga. Buka tenda, masak buat makan malam, terkaparlah kami. Budi, Rendra, Windu tidur di tenda, aku dan Fajri buka matras tidur diluar berselimutkan SB. Malam ini Tuhan baik hati, langit lagi bagus-bagusnya. Seharusnya aku dulu belajar astrologi biar bisa baca konstelasi bintang, yang aku tahu cuman si Milkway, atau kalau diIndonesiakan dengan baik dan benar Bima Sakti. Kenapa ya nggak diberi nama Kresna Sakti, atau Hanoman Sakti. Ahh, daripada bingung ngurus nama mending istirahat buat besok. Puncak Slamet sudah menunggu kami…

Paginya aku bangun paling akhir, hehehehehe. Sudah ada teh hangat disampingku. Rendra sama Budi lagi masak sayur sop dan tempe goreng. Yang laennya bongkar tenda dan packing, sungguh nyaman sekali diriku, hahaha. Sebelum aku cerita lagi, ada yang ingin aku omongin dulu tentang kondisi hutan disini. Hutannya masih bagus (kecuali yang di awal-awal, sudah jadi perkebunan), rapat, pohon-pohon besar dan dibawahnya tumbuhan semak, sesekali kita melewati parit-parit sedalam 1,5-2 m. Parit ini terbentuk karena tanah yang tergerus oleh air hujan membentuk semacam sungai kecil berbentuk V. kenapa berbentuk V? Silahkan mengingat kembali pelajaran Geografi SMP kelas1 tentang tipe-tipe sungai menurut bentuknya. Adakalanya pohon tumbang menghalangi jalan sehingga kita karus berjalan diatasnya atau merangkak. Dibeberapa tempat, jalanan menjadi bercabang, kebanyakan akan bertemu kembali di satu titik, tapi ada juga yang tidak. Jadi berhati-hatilah bila memilih persimpangan.

Kembali ke cerita, Pos 5 ternyata dekat sekali dengan tempat kami menginap semalam (mengingatkanku pada waktu perjalanan malam ke Wilis, ternyata kami menginap “hanya” sepelemparan batu dari Watu Godek). Dari sini baru kelihatan Sindoro Sumbing di sebelah timur. Sebentar lagi kami akan menyentuh S yang ketiga. Biasanya pendaki mendirikan tenda disini dan meninggalkan barang-barangnya. Tapi kami bukan pendaki itu, demi bisa berpose di depan kamera dengan carrier, kami rela bersusah-susah membawanya. Dan ternyata keputusan kami itu benar-benar menguras tenaga. Tak terhitung berapa kali kami harus istirahat demi niatan tersebut. Tak bosan pula kami menjawab pertanyaan berikut “Mau lintas ya mas?”. ”Ndak” jawab kami. “Kok ranselnya dibawa?”. “Pengen aja” kami menjawabnya dan sebuah tatapan aneh pasti mengembang di wajah mereka. Ternyata kalau ada pendaki yang bawa ransel ke atas berarti akan lintas jalur (naik dari sini turun di batu raden). Itulah harga sebuah photo.

Sampai di kaki Slamet sudah jam 00.00. hutan belukar berganti bebatuan dan kerikil-kerikil. Sudut kemiringan 60 lebih dengan panjang sekitar 1 km. sempat terpikir untuk meninggalkan ransel di pos 9 ini (pos terkahir) tapi demi yang telah disebut diatas tetap kami bawa juga. Tidak yang setengah-setengah, sekali ya tetap ya. Hahaha. Jalan ke puncak Slamet berbeda dengan ke puncak Semeru. Semeru memiliki pasir yang lebih halus, sedangkan disini lebih tepatnya disebut pasir kasar dengan diameter 0,5-1 cm. Batuannya juga lebih berwarna ketimbang semeru (emang pernah kesana? Sok tau aja. Hahaha, doain sebentar lagi aku bisa bertamu kesana, amin). Jangan khawatir tersesat soalnya tidak ada jalan yang benar disini, silahkan buat jalan sendiri-sendiri, dengan begitu, resiko terkena longsoran pasir menjadi lebih kecil. Skor rata-rata disini 5-2 ( 5 langkah naik, 2 langkah turun). Terakhir dan yang tak kalah penting, jangan sampai tergelincir!!!

Aku sampai puncak pertama kali, terkapar menunggu yang lain. Setelah satu persatu sampai sini, it’s time to celebrate our victory. Ucapan selamat meluncur dari mulut kami satu persatu, tangan ini tak henti-hentinya saling berjabat, rasa syukur tak berhenti aku ucapkan dalam hati, terimakasih Tuhan. Puncak Slamet menawarkan pesona kawah yang indah. Apabila kita mau lebih dekat kesana, tentunya harus menuruni bibir kawah ini. Ingin rasanya melihat kawah yang berwarna kekuning-kuningaan itu dari dekat. Tapi ketika teringat jalan kembalinya, yang harus naik, aku memilih melihatnya dari sini saja. View puncak yang ditawarkan? Standar lah, seperti puncak-puncak gunung yang lain. Awan yang menari-nari, hamparan hutan yang menghijau, angin yang menusuk tulang dan pemandangan lainnya. Tapi, tiap gunung pasti memberi kesan tersendiri-sendiri dan itu akan kami dapatkan ketika perjalanan pulang nanti.

Turun dari Slamet ternyata tidak mudah, jalan yang curam n berbatu memberi resiko yang tidak ringan. Salah injek batu, Welcome in the Hell!! Butuh konsentrasi tingkat tinggi dan ilmu prediksi yang mantab buat menghitung brapa % peluang batu yang kita pilih tidak longsor. Kalaupun udah bisa, masih ada kendala lagi, pergelangan kaki. Medan yang menurun memberikan tekanan maksimum pada persendian yang bisa mengakibatkan bergesernya mata kaki. Dan ketika kami sampai di pos IX, 2 sahabat kami luka parah, 1 luka ringan, 2 orang selamat. Aku sama fajri masih bisa bertahan, 3 lainnya sudah mulai sakit pergelangan kakinya, yang paling parah Rendra sama Win. Mungkin karena pergelangan kakinya tidak kuat menahan beban tubuh, mereke berdua yang jalan pincang untuk sesi pertama. Perjalanan ini juga semakin menarik ketika sekumpulan air berjatuhan dari langit, kami beristirahat di Pos VIII.

Hujan dan dingin memberi suasana yang bagus untuk tidur, kami terkapar. Sesuatu yang membangunkan aku adalah rasa mual. Ternyata penyakit lama yang aku bawa dari perjalananku di Arjuno Welirang juga ikut kesini, masuk angin. Dan karena disini tidak ada suster cantik yang mau merawat aku, aku melakukannya sendiri. Pertama, aku minum obat dulu, kemudian membuat makanan untuk dimuntahkan lagi, waktu itu aku buat mie. Nah,daripada cuman buat mie sendiri, aku masak yang banyak sekalian untuk makan siang. Selesai makan, akupun tidur bentar buat ngilangin pusing. Bangun-bangun tinggal aku, Fajri sama si Budi, yang lain udah jalan duluan. Badan sudah nyaman, perjalanan dilanjutkan.

Perjalanan pulang ini seperti pertarungan kereta ekonomi melawan kereta eksekutif memperebutkan jalur rel. Cuman yang membedakan kalau biasanya klas eknomi kudu mengalah kalau eksekutif lewat, sekarang itu dibalik,yang eksekutif kudu nunggu ekonomi lewat. Begitulah keadaan kami. Rendra sama Win jalan duluan, coz mereka yang paling parah kakinya, yang lainnya kudu nunggu dibelakang. Biasanya setelah mereka jalan 10-20 menit kita menyusulnya. Kenapa tidak jalan bareng saja? Karena kalau harus jalan bareng kita akan cepet capek. Sedikit-sedikit kami harus berhenti istirahat untuk meredam rasa sakit. Bagi yang sakit itu memang membantu, tapi bagi yang sehat, itu sangat menyiksa. Maka daripada itu, kita jalan terpisah. Yang sakit duluan, yang sehat nunggu dibelakang.

Hari mulai malam ketika kita sampai di pos IV. Istirahat sebentar dan kemudian jalan lagi. Senter ini seperti pemberat di tangan kami (untung aku pake headlamp :p), gelapnya malam memberi keuntungan karena kita tidak tahu seberapa jauh lagi perjalanan ini, pokoknya kita harus jalan aja. Nggak enaknya, serem banget. Pohon-pohon itu seperti sedang mengawasi kami, suara tangis dedaunan yang terinjak seakan-akan mereka berkata “Hei… jangan injak aku!!”. Mereka tidak rela kami berjalan di atasnya. Belum lagi makhluk-makhluk lain yang ada disini, kami seperti di kerumuni mereka saja. Untungnya, perjalanan suram itu berlangsung lama. Jam 24.00 kami keluar hutan.

Setelah 6 jam lebih terperangkap di dalam hutan, akhirnya kami bisa juga menikmati cahaya rembulan yang ditemani kerlip-kerlip bintang. Di ujung sana lampu-lampu kota semakin mempercantik malam ini. Terimakasih untuk viewNya. Sekarang kami berjalan diantara perkebunan warga, sesekali kami memasuki hutan pinus yang memisahkan ladang satu dengan ladang lainnya. Dan dalam ketenangan malam, kami akhirnya tersesat juga.
Kami mulai memperdebatkan rute setelah pertama kali keluar dari hutan seram tadi, Hendra yakin kita udah salah jalan, sedangkan Fajri yakin jalan ini udah benar. Untuk yang ini aku yakin Fajri yang bener. Perdebatan berikutnya di sebuah pertigaan, yang satu turun kebawah, sedangkan yang satunya belok kanan, aku memilih yang kekanan. Yang ketiga disebuah pertigaan juga, yang satu ke kiri, yang satunya lurus. Waktu itu tidak banyak yang tahu kalau ada pertigaan ini, jalanan waktu itu berkabut tebal, cuman aku sempat bilang Fajri kalau ada pertigaan ini, kami ambil yang lurus.

Setelah lama berjalan ternyata jalan ini menuju sungai, padahal pas berangkatnya kami tidak melewati sungai ini. Kami pun bingung, waktu itu aku sempat meriksa jalur ini sementara yang laen nunggu disungai dan aku yakin ini jalan yang salah. Kamipun memutuskan untuk kembali, sebelumnya kami sempat berpikir untuk susur sungai saja karena menurut perkiraan sungai ini adalah sungai yang kami lihat di kiri kami pada waktu berangkat kemarin. Tapi aku menolaknya, terlalu berbahaya jalan malam lewat sungai dengan kondisi 3 orang luka (Hendra mulai mengeluh soal kakinya). Mas Win juga sudah mulai ndak kuat jalan lagi, dia pengen ada yang balik dulu buat mastiin jalan ini salah. Tapi dengan sedikit bujuk rayu akhirnya mereka semua mau balik kepertigaan yang aku bilang ke Fajri.

Sampai dipertigaan yang aku bicarakan dengan Fajri kami istirahat. Ternyata waktu aku membicarakan pertigaan ini dengan Fajri dia tidak mendengarnya dan dia juga tidak tahu kalau ada pertigaan ini. Aku dan Fajri kebagian tugas buat meriksa jalan. Kabut pagi itu membuat jarak pandang jadi sedikit, headlamp ini memjadi sia-sia. Setelah bebarapa lama, akhirnya kami menemukan tanda yang kami lihat siang kemarin, kamipun kembali ke pertigaan tadi. Setelah memakai jas hujan, kami berlima melanjutkan perjalanan lagi, waktu itu kabut mulai mencair. Dan kami akhirnya menemukan Pos I, lega sudah hati ini.

Perjalanan berikutnya adalah melewati kebun wortel. Puas dengan makanan kelinci, sekarang berganti dengan bunga kol dan yang terakhir adalah jagung. Berjalan di tengah-tengah ladang di sinari cahaya rembulan menawarkan sensasi yang berbeda. Ada perasaan takjub, hati ini berdesir, Tuhan memberikan akhir yang indah untuk sebuah penyerahan diri kepadaNya. Akhirnya, jam 3 pagi kami sampai di pos pendakian. Capeknya sudah luar biasa, bayangkan saja, mulai jam 2 siang sampai jam 3 malam!! Dan yang lebih bagus lagi pos ini sudah tutup, kami pun tidur di parkiran beralaskan matras. Besok pagi kami pulang.

Aktivitas pagi ini adalah bersih diri, jangan berharap untuk mandi, setelah pengalaman mandi pertamaku disini, aku mendingan mandi di terminal nanti. Sarapan kali ini adalah nasi goreng, dingin-dingin emang enak makan yang hangat. Selesai sarapan giliran ransel yang dibersihin. Sekarang tinggal menunggu angkot untuk pulang.

Pulangnya kami bareng dengan anak-anak dari Jakarta juga, ternyata meraka dulunya masih satu kampus cuman lebih tua mereka aj. Rute pulang kali ini berbeda dengan waktu kami berangkat, kami lewat BatuRaden. Nggak nyesel deh pulang lewat sini, viewnya itu loh, kereeen. BatuRaden adalalah sebuah wana wisata(wisata hutan) yang menawarakan pemandangan yang luar biasa. Kami berjalan di lerang hutan dengan pemandangan kota di bawah sana. Hutannya juga bagus sekali, pohon disini besar-besar, sesekali kami melewati sungai yang eksotis dengan air terjun mini. Burung-burung beterbangan cuek diatas kami, tak sadar kalau mereka sedang kami kagumi. Cukup lama kami menjelajahi BatuRaden, setengah jam lebih, sebelum akhirnya kami kembali dihimpit semen, bata, besi, dan teman-temannya.

Kami berpisah di terminal Purwokerto, aku kembali ke Tulungagung mereka balik ke Jakarta. Disinilah akhir dari sebuah awal yang baru. Terimakasih untuk semuanya, yang telah menungguku di Masjid, yang dengan penuh semangat menjelajahi Gn Slamet, yang dengan tenaga terakhir bisa menyentuh puncak, yang dengan sebelah kakinya menaklukkan malam, yang dengan keberanian mengatasi ketakutan masing-masing, dan akhirnya membuat kita berbeda dalam harmoniNya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS